NUKEBONSARI.or.id – Hari Santri Nasional (HSN) diperingati sejak 2015 dengan tujuan untuk mengingat, mengenang, dan meneladani kaum santri yang telah berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia. Dimana pada tanggal 21-22 Oktober, hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari mengadakan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di Bubutan, Surabaya.
Kesepakatan mereka melahirkan resolusi yang diberi nama Resolusi Jihad. Hal inilah yang menjadi pemantik api semangat para pejuang membela Tanah Air dan NKRI yang akhirnya menyebabkan pecahnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang selanjutnya diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sebagai nahdliyyin, ruh perjuangan hadratusysyaikh tentu menjadi warisan yang berharga dan harus dilestarikan. Salah satunya adalah bagaimana hadratusysyaikh berjuang keras menyatukan barisan umat Islam terutama ulama-santri untuk bersatu dalam satu garis komando perjuangan. Tidak mungkin peristiwa 10 November terjadi apabila tidak ada komitmen dalam menjalankan Resolusi Jihad tersebut.
Hari ini, tentu ruh tersebut masih sangat relevan dengan situasi di tubuh NU sendiri. Karena meneruskan khittah hadratusysyaikh berupa seruan agar umat Islam harus selalu berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia (QS. Ali Imran : 103) -sebagaimana termaktub dalam Muqaddimah Qanun Asasi NU- mutlak dilakukan.
Tentu menjadi keprihatinan kita bersama apabila hari ini kita masih memperingati HSN dengan berbagai kegiatan meriah, menggaungkan nama besar hadratusysyaikh dalam berbagai kesempatan, bangga menjadi pengikut hadratusysyaikh, namun perilaku kita masih belum mencerminkan khittah perjuangan beliau.
Nahdliyyin kiranya perlu berkaca kembali dan bercermin pada diri sendiri sebagai salah satu refleksi dan intropeksi, apakah kita sudah bersatu padu dalam memperjuangkan agama, Nusa dan Bangsa?, disaat kita sendiri masih sering berselisih paham antar sesama terutama dalam berorganisasi.
Disaat kita masih mengedepankan ego sektoral dalam menjalankan amanah organisasi, tidak taat pada garis komando yang sah, tidak menjalankan fungsi syura (musyawarah) dalam mengambil setiap keputusan dan bahkan (lebih parah) sulit meluangkan waktu hadir dalam rapat tetapi begitu keras bersuara kritis terhadap hasil rapat, jika itu semua masih ada dan terjadi dalam jiwa kita masing-masing sebagai nahdliyyin, maka kemajuan organisasi masih jauh panggang daripada api.
Kita akan semakin sulit mengejar ketertinggalan modernitas organisasi, kemapanan manajemen serta solidnya jamaah seperti beberapa organisasi keagamaan lainnya. Dan justru ketika semakin sulit bersatu, sering mengingkari “tali” perjanjian dengan manusia berupa AD/ART, perkum, hasil keputusan rapat, dan lain sebagainya, kehinaan dan kemunduran akan semakin kita rasakan.
Kita akan terhina dihadapan organisasi lain. Seperti yang diterangkan oleh Allah SWT “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. (QS. Ali Imran : 112).
Lalu, apakah kita masih bangga mengaku santri hadratusysyaikh sementara kita masih sulit bersatu menggalang kekuatan memajukan organisasi NU ini? Gak bahaya tah?!
Kebonsari, 17 Oktober 2023
Kangiem / LTN NU Kec. Kebonsari